Pengikut

Tolong, anakku step di ultah pertamanya (bag. 1)

Tiga belas tahun yang lalu di siang bolong aku menjerit "anakku!!" melihat anak pertamaku tiba-tiba kejang di atas kasur. Baru saja ku beri dia susu dan ku baringkan badannya di kasur lantai. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang pertama dan rencanaku  untuk mengajaknya jalan ke mall. 



Dengan pikiran binggung dan takut ku angkat anakku yang kurasa seperti kayu keras. Badannya kaku, jari tanggannya menggepal kuat, kedua kakinya lurus, bola matanya ke atas, kulitnya dingin dan pucat. Melihat itu badanku tiba-tiba lemas terduduk di pinggir kasur lantai, ku kumpulkan kesadaranku dan mencoba berdiri dengan kaki gemetar lari ke luar kamar. Ku gendong anakku ke luar dan otakku terus beri perintah, "panggil anakmu jangan biarkan tertidur". 

"Anakku.. Anakku.. Tolong anakku" teriakku. Baru satu meter keluar dari pintu kamar tiba-tiba kaki ku lemas dan aku terduduk memeluk anakku, "Bangun nak, bangun nak.. Tolong, tolong" jeritku sambil mengusap-usap mukanya. Aku berharap dengan sentuhanku  bisa dia rasakan.

Suamiku dan empat orang lari masuk ke arahku, telingaku tidak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Suamiku langsung menggambil anakku dan lari ke luar. Ku kumpulkan kekuatan mencoba ikut berlari di belakangnya. Dia lari ke arah klinik bersalin  yang jaraknya 100 meter. 

Tibanya di klinik ku lihat anakku sudah telanjang. Aku dan suamiku bergantian mengusap-usap telapak kakinya yang dingin seperti es. Tak henti ku panggil nama anakku, berharap dia dengar panggilanku. 

"Kenapa anaknya bu? Step ya?" tanya tiga orang ibu yang berdiri menatap heran.

"Oh, ini step anaknya pasti besarnya idiot" celetuk ibu tua.

"Iya, gimana sih kamu mamaknya biarin anaknya step, " jawab ketus ibu lain. 

Ku lihat ruang tunggu yang setengah penuh berbisik-bisik melihat kami. 

"Bu, kalau anaknya step masukkan aja ke dalam bak air biar cepat turun panasnya,"

"Kasih minum kopi kental aja,"

"Jangan di infus nanti cacat, "

"Mandikan air kembang aja bu, "

Geram rasanya mendengar itu, "Ah, sudahlah nga perlu ku lawan." bisik hatiku sambil terus mengusap badan anakku.

Bidan datang memberikan sebotol alkohol dan kapas, dia menunjukkan caranya danmemintaku untuk mengusap alkohol ke seluruh badannya.

 Setelah ku usap semua alkohol ke badannya dan bagian ketiaknya  ku kompres memakai kapas, bidan memasukkan stesolid ke duburnya. Satu menit kemudian anakku buang air dan dia menangis keras. Aku merasa lega, ku bersihkan badannya dan ku peluk. 

Bidan memberikan obat demam dan memintaku untuk terus beri minum air putih dengan sendok. 

Sorenya ku bawa anakku berobat ke dokter spesialis anak. Saat di periksa anakku tidak demam dan dokter hanya beri vitamin dan stesolid oral. Tapi hatiku belum tenang karena binggung pernah demam tinggi 38,5 tidak ada step. Dokter sarankan istirahat di Rumah Sakit untuk di monitor otak anak. Dengan pertimbangan aku kurang percaya dengan pelayanan Rumah Sakit di kota ini, terbayang saat aku operasi caesar yang tidak nyaman dengan pelayanan perawatnya. Jadi sementara saran dokter itu ku tolak. 

Sekitar jam 7 malam dengan suasana lampu mati anakku tiba-tiba demam. Ku beri obat penurun demam dan ku kompres seperti yang diajarkan bidan tadi siang. Ku gendong anakku dan mulutku tidak berhenti bernyanyi dengan harapan anakku walaupun dia tidur tetap mendengar suaraku. Perasaanku mulai was-was, "aku harus bagaimana kalau kejadian tadi siang terulang dengan kondisi gelap mati lampu". Ku tenangkan diriku sesekali melihat kearah lilin besar yang setengah batang habis terbakar. Hatiku terus mengucap doa berharap pikiranku tetap positif.

Ku lihat mertuaku yang mulai panik dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Beliau menyuruh suamiku meletakkannya diatas pintu kamar. Belum sempat aku bertanya kurasakan telapak kaki anakku dingin. Samar-samar dikegelapan ku lihat anakku membuka mata dan tangannya mulai mengepal. Ingat kejadian tadi siang dengan gemetar tangannku mengambil botol stesolid, ku tuang obat itu ke sendok takar hingga tumpah. 

Melihat itu mertuaku langsung menggendong cucunya dan mengucap sesuatu di kepala anakku. Mertuaku langsung mengunyah ramuan rempah dan menyemburnya ke seluruh badan anakku. 

"Jangan ganggu cucuku." teriak mertuaku. Anakku mulai kejang lagi.

Ya, aku mulai panik, mulutku ingin teriak tapi tak bisa. Ku coba tenangkan diri fokuskan mataku melihat sendok takar dan dengan gemetar pelan-pelan ku tuang obat itu. Ku coba mengingat-ingat pesan dokter tapi tak ada ku ingat. 

Ku beri anakku obat tapi obatnya keluar dari mulutnya. Ku masukkan kembali sambil terus ku usap-usap telapak kakinya berharap dia bisa rasakan sentuhanku. 

Akhirnya dia menangis keras dan hatiku terasa lega. Terasa air mataku menetes mendengar tangisannya seperti mendengar tangisan pertamanya saat diangkat dari rahimku. Aku memeluknya dan mencoba menenangkan dirinya dan diriku..