Pengikut

Cinta yang terlepas

 


  Kiki menghempaskan badannya ke atas kasur sesekali ia menghela nafas dan membalikkan badannya ke kanan dan kekiri. Tatapannya lurus ke dinding kamarnya yang putih. Kembali terlintas bayangan pacarnya yang tertawa lepas bersama teman sekantornya. 
"Ki, makan yuk," teriak Sandy tiba-tiba membuat Kiki terkejut. Sandy menyingkap horden dan memasukkan kepalanya. 
"Ngapain Ki, tumben jam segini udah mo tidur. Aku lapar nih. Temanin dong makan ke gang depan." 
Kiki pura-pura tidak mendengarnya dan menutup mukanya dengan bantal. 
"Ayolah Ki, ku traktir deh." Kata sandy. Mendengar itu Kiki langsung terduduk dan tersenyum. 
"Huh, dengar  traktir aja langsung semangat dia," kata Sandy sambil menarik kepala keluar. 
Kiki membuka pintu kamarnya. 
"Let'go aku butuh amunisi untuk kuat," Kiki merangkul Sandy yang terheran melihatnya. 

    Sandy memperhatikan tingkah Kiki tidak seperti biasanya yang suka makan banyak. Dia melihat Kiki memutarkan sendoknya dalam mangkok bakso yang baru sekali dimakannya. Kepalanya tertunduk memandang isi mangkuk itu. Sandy  mendekatkannya kepalanya ke arah Kiki. 
"Heh, memangnya ada apa sih di dalam mangkuk itu," bisik Sandy
Kiki terkejut melihat muka Kiki didepannya. Dia cepat-cepat menarik badannya ke belakang sambil tersenyum getir. Matanya mulai berkabut menahan genangan air mata yang mau meledak keluar. 
"Ah enggak apa apa kok," senyumnya kaku sambil mengelengkan kepalanya. Tangannya meraih gelas berisi air kelapa. 
"Wah, betul-betul kamu ini ya, udah jelas kok." Kata Sandy menyipitkan matanya dan menyilangkan tangan di dadanya. 
     Kiki terkejut dan meletakkan gelas yang hampir terlepas dari tangannya. Dia condongkan badannya ke arah Sandy. 
"Jadi kamu tau juga?" Tanya kiki dengan mata terbelalak. Beberapa saat dia menunggu jawaban Sandy, ia mencoba menembus pandangan Sandy mencari apa saja yang diketahuinya. 
"Tidak tahu," jawab Sandy mengangkat bahunya. 
"Memangnya apa sih," dengan santai Sandy mengambil kerupuk dan memakannya. 
Mendengar itu Kiki terkejut seperti merasakan serangan jantung. Dengan kesal dia ambil tisu dan melempar ke arah Sandy. 
"Lah, apa salahku." Kata Sandy. 
"Salahmu itu karna mulutmu," kata Kiki kesal. Melihat Kiki binggung sambil meraba bibirnya membuatnya tersenyum. 
"San, normal ngga sih kalau teman sekantor lawan jenis sering ketemuan di luar urusan kantor?" Tanya Kiki dengan suara pelan. 
"Yah, tergantung mungkin mereka lagi sharing cara kerja, memangnya kenapa? Kamu lagi ada masalah kerjaan?" Kata Sandy
Kiki menggelengkang kepalanya, dia membuka hp nya dan menunjukkan sebuah foto ke Sandy. 
    "Inikan wijaya sama Lia? Kok mereka foto berdua? Kelihatan..." suara Sandy terdengar pelan dan memandang Kiki. Sesaat mereka terdiam. Sandy melirik Kiki sambil mengetuk-ngetuk telunjuknya ke meja. 
"Apa?" Kata Kiki saat mata mereka beradu pandang. 
"Yah, darimana kamu dapat foto ini? Apa kamu sudah tanya wijaya? Kurang ajar banget tuh si Lia, dimana sih matanya kan banyak laki-laki single di kantor bisa dia dekatin, kok bisa gini sih?" Tanya Sandy tanpa henti. 
     Kiki hanya tersenyum pahit mengingat masa pacarannya dengan Wijaya yang sudah memasuki tahun ke lima. 
"Apa kalian ada masalah?" Tanya Sandy. 
"Sepengetahuanku nga ada, tapi entahlah apa ada yang tidak kuketahui," jawab Kiki. 
"Lalu gimana kamu udah tanya Wijaya?" Tanya Sandy. 
"Sudah kutanya dan jawabannya awalnya hanya cari selingan perasaan aja karna dia merasa hubungan kami mulai terasa membosankan," jawab Kiki tertunduk.  
"Apa kamu tanya juga ke Lia?" Tanya Sandy 
Kiki menganggukkan kepalanya pelan sambil menghela nafasnya yang terasa berat. Dialihkan pandangannya ke luar melihat kendaran yang lalu lalang. 
"Dia bilang hanya main-main, awalnya hanya sebatas curhat karna dia merasa kesepian lama-kelamaan menjadi serius perasaannya ke Wijaya," suara Kiki terdengar pelan. Air matanya mulai menetes jatuh perlahan. 
"Apa?!" Jerit Sandy
"Gila tuh anak ya, perlu dikasih pelajaran ya, seenaknya bilang hanya main-main. Dia pikir perasaan bisa dibuat mainan?!!" Teriak Sandy pelan. 
"Terus kamu gimana?" Sandy meraih tangan Kiki dan menepuknya pelan. 
"Aku nga terima semuanya tapi.." Kiki tak dapat menahan air matanya. 
"Aku sayang dia," suaranya pelan menahan perasaannya yang sedih. 
"Tapi, aku ngga mau seperti ini, dikhianati hanya alasan sepele," tangisnya pun meledak. 
Sandy berdiri dan berpindah duduk kesamping Kiki. Dia merangkul Kiki. 
"Sabar ya Ki," seru Sandy pelan sambil menepuk punggungnya. 
   
  Siang itu matahari bersinar terik. Sesekali Kiki mengelap peluh di mukanya. Sudah hampir satu jam ia duduk dipinggir pantai. Diliriknya jam tangannya menunjukkan jam satu siang. Kiki mulai gelisah mengingat telpon semalam. 
"Hallo, wijaya bisa besok kita bicara?" 
"Ok, kita ketemuan ditempat biasa." Jawab wijaya. Pantai ancol adalah tempat biasa yang sering mereka habiskan waktu bersama untuk bercerita dan tertawa. Kiki tertunduk dan mengusap pipinya yang basah air mata. Kiki menghela nafas kuat, "Cinta yang dia pertahankan, yang selalu dia agungkan, perasaan sayang yang dia tumbuhkan selama lima tahun hancur dalam sekejap." Bisiknya dalam hati. 
"Sorry, tadi macet di jalan," kata Wijaya sambil mengatur nafasnya. 
"Ada apa? Aku nga bisa lama-lama keluar kantor," kata Wijaya sambil bertolak pinggang. 
"Kita akhiri hubungan kita, aku nga bisa terima kamu lagi," kata Kiki sambil berlalu pergi. 

Wijaya terdiam melihat Kiki yang berjalan cepat dan berlari menghilang diantara parkiran mobil. 


1 komentar:

  1. Alur ceritanya enak, kata-katanya juga bagus.Tapi coba koreksi lagi penulisan kata "ngga". Karena di sini kadang ditulis gak, kadang ngga.Tp keren lah.lanjut!!😘

    BalasHapus